Oleh: Teguh Amor Patria
BANDUNG selama ini dikenal sebagai kota wisata belanja. Tapi sadarkah kita, kota ini juga memiliki potensi sebagai kota wisata pusaka (heritage tourism)?
Organisasi Bandung Heritage mencatat, lebih dari 400 bangunan pusaka di kota yang pernah dijuluki Laboratorium Arsitektur di Indonesia ini (data inventaris 1997). Mayoritas merupakan arsitektur warisan kolonial Belanda, mulai dari gaya Indische Empire (1860-90-an), Neo-Klasik (1890-1910-an), hingga Art Deco (1920-30-an). Bahkan dengan jumlah bangunan Art Deco yang cukup signifikan, Bandung berada di peringkat 9 dari 10 kota berarsitektur Art Deco terbanyak di dunia – hanya satu tingkat di atas kota kelahiran Art Deco sendiri, yaitu Paris (GlobeTrotter, 2001).
Tentu saja selain arsitektur Indo-Eropa, Bandung juga mewarisi sejumlah bangunan khas nusantara (seperti pendopo di selatan Alun-alun) dan Cina (kelenteng-kelenteng di kawasan Pecinan).
Yang lebih menarik, banyak bangunan lama di Bandung yang memiliki nilai sejarah, mulai skala lokal hingga internasional. Sebut saja pendopo (bangunan pemerintahan pertama dari tahun 1810), Gedung Sate (calon pusat pemerintahan Hindia Belanda dari tahun 1920), dan Gedung Merdeka (tempat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika tahun 1955).
Di Eropa, banyak bangunan berusia ratusan tahun yang dipertahankan dan dirawat sedemikian rupa sehingga menarik kunjungan wisatawan. Beberapa negara berada pada posisi atas negara tujuan wisata dunia (World Tourism Organization, 2004), dengan masing-masing jumlah wisatawan 75,1 juta dan pendapatan 37,038 juta dolar AS untuk Prancis, 53,6 juta dan 41,770 juta dolar AS untuk Spanyol, 37,1 juta, dan 31,222 juta dolar AS untuk Italia.
Memang tidak semua pendapatan dari sektor pariwisata tersebut berasal dari pariwisata pusaka. Namun kenyatannya, kota-kota di Prancis, Spanyol, dan Italia kaya akan bangunan tua namun mampu menyedot jutaan wisatawan mancanegara setiap tahunnya, seperti gereja Notre Dame di Paris, arena gladiator kuno Colosseum di Roma, dan bangunan-bangunan unik karya arsitek terkenal Gaudi di Barcelona.
Sebaliknya di Bandung, tidak sedikit wisatawan yang menyayangkan kondisi bangunan-bangunan pusaka di kota ini. Dengan kondisi sebagian besar yang kurang terawat dan terancam penghancuran, telah mengundang keprihatinan bukan saja wisatawan asal Belanda, namun juga mereka yang tidak memiliki hubungan sejarah kolonial sekalipun seperti turis asal Afrika Selatan.
Yang menarik, dalam beberapa tahun terakhir ini adalah fenomena kemunculan kelompok-kelompok penggemar bangunan-bangunan tua di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Yang tidak disangka-sangka, sebagian besar peminatnya adalah orang-orang muda yang rela mengorbankan waktu dan uangnya untuk melakukan kegiatan wisata berkunjung ke bangunan-bangunan tua, tanpa melihat apakah itu warisan kolonial atau bukan. Yang menjadi tujuan kebanyakan adalah menambah wawasan dan pengetahuan tentang sejarah dan budaya sendiri.
Keprihatinan wisatawan mancanegara dan fenomena munculnya grup peminat bangunan pusaka ini, menunjukkan adanya peluang bagi pengembangan pariwisata pusaka bagi pasar ceruk (niche market) atau yang dalam dunia kepariwisataan dikenal sebagai wisata minat khusus.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah dengan aset bangunan pusaka yang dimiliki, Bandung juga bisa mengembangkan pariwisata pusaka seperti kota-kota di Eropa?
Kendala di Bandung
Kendala yang dihadapi Bandung dalam pengembangan pariwisata pusaka tidak berbeda dengan kebanyakan kota di Indonesia. Dalam hal ini dihasilkan 3 asumsi peneybab (berdasarkan wawancara dengan publik), yaitu:
1. Lemahnya law enforcement
Di Kota Venice, Italia, terdapat peraturan pemerintah setempat yang mewajibkan para pemilik bangunan tua (yaitu publik) untuk mempertahankan dan merawat tampilan luar bangunan. Selebihnya, untuk interior, mereka bebas mengubah dan mendekorasi. Dengan kata lain, tampilan luar bangunan ‘dimiliki’ oleh publik dan negara, sedangkan bagian dalam dimiliki sepenuhnya oleh si empunya bangunan.
Dengan peraturan tersebut, tidak lantas membuat Kota Florence menjadi kota kuno dan ketinggalan zaman, namun justru menjadikannya lebih menarik bagi wisatawan karena keunikannya.
Di Bandung dan Indonesia, pada umumnya, dengan adanya UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, tidak menjamin upaya pelestarian bangunan-bangunan pusaka, terutama yang memiliki nilai sejarah dan budaya serta arsitektur yang khas. Sering karena dalih pembangunan, suatu bangunan atau kawasan pusaka berubah fugnsi dan rupa, bahkan dihancurkan. Padahal pembangunan tetap dapat dilaksanakan tanpa harus mengorbankan nilai-nilai pusaka suatu bangunan atau kawasan.
2. Ekonomi
Isu ini memang seakan menjadi dilema, terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia. Di satu sisi, kita dihadapkan pada kenyataan harus membangun, di sisi lain juga memiliki kewajiban moral untuk melestarikan aset pusaka kota dan negara.
Bagi kebanyakan pemerintah dan sektor industri, isunya adalah apakah pelestarian bangunan pusaka menjadi hal yang penting, bila kenyataannya bangunan-bangunan tersebut tidak menghasilkan keuntungan secara ekonomis? Daripada memelihara bangunan lama yang tidak produktif (ditambah pemikiran bahwa merawat bangunan lama lebih mahal dibanding membangun yang baru), lebih baik membangun yang baru dan bisa memberi keuntungan ekonomis (baca: mal, trade center, ruko, dan lain sebagainya).
Ironisnya, sering keputusan ini diambil secara instan, bersifat spekulatif, dan untuk jangka waktu pendek. Sering tanpa berpikir panjang, bangunan-bangunan lama, termasuk yang memiliki nilai sejarah, budaya, dan arsitektur unik, dikorbankan untuk bangunan-bangunan baru. Yang penting adalah lokasi, lokasi dan lokasi (walaupun kawasan itu sudah macet sekalipun).
Untuk hal ini, kita harus belajar pada pengalaman Singapura, yang sama-sama merupakan negara berkembang namun kini menjadi salah satu negara maju di Asia. Pembangunan dan perkembangan ekonominya yang pesat tidak lantas mengabaikan bangunan-bangunan serta kawasan pusaka di negara pulau itu, namun tetap bisa berjalan seiring. Contohnya adalah kawasan Kolonial, Pecinan, Kampung Melayu, Little India, dan Arab Village.
3. Pendidikan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Trust, sebuah lembaga pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah di Amerika Serikat, terdapat hubungan antara latar belakang pendidikan dan motivasi pelaku wisata pusaka (2001). Mayoritas pelaku wisata pusaka di negeri itu adalah para baby boomer (generasi yang lahir akhir 1940-an hingga 1950-an), yang tumbuh pada saat ekonomi AS membaik. Akibatnya, banyak dari generasi ini yang mengenyam pendidikan lebih baik dan lebih tinggi, dan sukses secara karier ketika memasuki usia produktif.
Hasilnya pada saat generasi ini memasuki usia mapan (tahun 1990-an), mereka menginginkan suatu pengalaman wisata yang tidak lagi bersifat rekreatif semata, namun juga bermuatan pendidikan dan budaya, seperti pariwisata pusaka. Jadi pada dekade 1990-an lah pariwisata pusaka mulai menjadi tren di negeri Paman Sam tersebut, walaupun isu pelestarian sudah muncul beberapa dekade sebelumnya.
Yang menarik, kondisi serupa juga terjadi di Bandung. Berdasarkan data Bandung Trails, organisasi nirlaba yang menyelenggarakan wisata pusaka untuk publik secara berkala, 87% pesertanya berusia 19 – 30 tahun dan hampir 90% bertujuan menambah wawasan dan pengetahuan (2004-2005). Dengan berkunjung dan mendengar cerita tentang bangunan-bangunan lama serta orang-orang di balik sejarah, museum, dan pusat-pusat kebudayaan, rasa ingin tahu mereka dapat terpenuhi.
Memang belum semua orang di Bandung dan Indonesia umumnya memilih kegiatan wisata pusaka saat ini, terlebih hal ini menyangkut minat dan preferensi individual. Namun, dengan semakin baiknya mutu dan tingkat pendidikan seseorang umumnya akan lebih merangsang keingintahuannya