Archive for Februari, 2003

Perlu Diupayakan Konservasi – Geliat Arsitektur Kolonial Belanda di Singaraja

Februari 23, 2003

Di kota Singaraja, jika ditelusuri, akan bisa ditemui adanya beberapa peninggalan arsitektur tempo doeloe, yang lazim dikenal dengan arsitektur kolonial Belanda. Arsitektur yang “diwariskan” ini ada yang berupa kantor, sekolah, rumah tinggal, gereja, dll. Di rentang perjalanan usia, adakah bersandar denyut kegundahan di hati? Akankah ia tetap lestari, di muka bumi “Panji Sakti”?

SINGARAJA, ibukota kabupaten Buleleng, Bali, selain dijuluki sebagai kota “panas”‘, berlambang patung Singa Ambararaja, dan sebagai cikal bakal ibukota “Sunda kecil” waktu dulu, ternyata menyimpan “kekayaan” arsitektur kolonial Belanda, yang jarang dijumpai pada kota-kota kabupaten lain di Bali. Arsitektur kolonial ini bisa dijumpai di lingkungan Sukasada, Liligundi, di Jl. Ngurah Rai, Jl. Gajah Mada, pelabuhan Buleleng, Jl. Surapati, dll. Beberapa peninggalan arsitektur kolonial ini masih nampak bertahan dan utuh, namun tak sedikit yang sudah mengalami perubahan bentuk, atau menggunakan material berbeda dari keadaannya semula.

Mengamati kenyataan ini, mungkin perlu diupayakan suatu konservasi arsitektur kolonial Belanda di Singaraja. Geliat arsitektur kolonial di kota ini seakan mengusung citra berkelanjutan, yang digayuti kenangan masa silam. Tentu lebih bijak sekiranya masyarakat turut berperan, memahami, menjaga dan menghargai keberadaan arsitektur peninggalan bersejarah, yang selain masih bisa digunakan seara fungsional, juga kental dengan makna dan nilai historis.

Upaya dan harapan ini digelar, guna menghindari terjadinya pembongkaran semena-mena terhadap arsitektur kuno/kolonial, agar tetap mengindahkan kelestarian nilai-nilai historika arsitekturalnya, yang diayomi oleh ranah lingkup: konservasi. Seperti yang dicetuskan dalam kesepakatan internasional yang dirumuskan dalam “Piagam Burra” (1981), konservasi merupakan istilah yang menjadi payung dari semua kegiatan pelestarian.

Konservasi — dalam segmen arsitektur — itu sendiri dapat dikatakan sebagai segenap proses pengelolaan suatu tempat/objek arsitektur agar makna arsitektural yang dikandungnya terpelihara secara baik. Perinal ini meliputi segenap kegiatan pemeliharaan yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat, yang di dalamnya mencakup preservasi, restorasi/rehabilitasi, rekonstruksi, dan adaptasi/revitalisasi.

Preservasi merupakan pelestarian suatu tempat persis seperti keadaan aslinya tanpa ada perubahan, termasuk upaya mencegah penghancuran. Sedangkan jika hanya mengembalikan suatu tempat ke keadaan semula, dengan menghilangkan tambahan-tambahan dan memasang komponen semula tanpa menggunakan bahan baru, disebut dengan restorasi/rehabilitasi.

Bagaimana dengan rekonstruksi? Bedanya dengan restorasi hanya pada penggunaan bahan/materialnya, yakni bahwa pada rekonstruksi bisa menggunakan bahan lama maupun baru. Kemudian istilah lain yang disebut dengan revitalisasi, adalah jika mengubah suatu objek arsitektur agar dapat digunakan untuk fungsi yang lebih sesuai (kegunaan yang tidak menuntut perubahan drastis), atau yang hanya mengalami dampak yang sangat kecil.

Mengapa konservasi terhadap arsitektur kolonial ini perlu diejawantahkan, dan perlu dijadikan bahan pertimbangan di dalam menentukan kebijakan? Tentunya hal ini tak bisa dilepaskan dengan posisi arsitektur kolonialnya. Selain sebagai “satuan fisik” yang berwujud bangunan, kelompok atau deretan bangunan, juga merupakan “satuan pandangan/visual” yang dapat memiliki arti dan peran penting bagi suatu tatanan kota, berupa aspek visual yang dapat memberi “bayangan mental” atau image yang spesifik — berciri khas — terhadap suatu lingkungan kota Singaraja.

Rekaman Sejarah
Peninggalan karya arsitektur kolonial Belanda merupakan sebagai salah satu rekaman sejarah dalam bentuk nyata yang membersitkan keberlanjutan peri kehidupan masyarakat pada masa lalu sampai kini, sekaligus sebagai bukti sejarah yang bisa dikenang oleh anak cucu tentang kandungan segi-segi historisnya. Sebab di era globalisasi saat ini, dalam laju perkembangan teknologi dan informasi yang serba canggih, cepat dan beragam, keberadaan bangunan bersejarah kolonial Belanda turut memberikan keunikan dan otentisitas tersendiri di dalam sebuah kota.

Generasi berikutnya tentu membutuhkan “ruang” dan peluang untuk bisa melihat, menyentuh dan merasakan bukti-bukti fisik sejarah serta kekayaan kultur di masa lalu. Pelestarian arsitektur kolonial di sini tentu turut memperkaya khasanah wajah lingkungan kota Singaraja. Mewujudkan karya arsitektur yang proporsional, holistik, baik dan mantap sekarang maupun di era mendatang, salah satu persyaratan utamanya adalah “hubungan dengan masa lampau”. Banyak karya arsitektur bermutu belajar dari arsitektur terdahulu, yang dapat memberikan inspirasi kepada para arsitek di dalam mengembangkan kreativitasnya.

Tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dan Bali umumnya, serta kota Singaraja khususnya pernah mengalami pengaruh occidental (Barat) di zaman penjajahan Belanda dahulu, dalam berbagai aspek kehidupan. Ihwal tersebut dapat diamati dari keberadaan arsitektur kolonial di kota ini. Kendati demikian, para perancang arsitektur kolonial pada masa itu kerap memadukan konsep lokal tradisional dalam merancang arsitekturnya. Contohnya, Puri Kanginan-Buleleng yang wujud tampilannya menunjukkan hasil dari pertautan konsep tersebut.

Sejalan dengan itu, eksistensi arsitektur peninggalan kolonial Belanda bersejarah ini dapat mencerminkan kisah historis tentang tatacara hidup, serta peradaban komunitas masyarakatnya ketika itu. Adanya akulturasi dalam arsitektur antara penjajah dan kultur Bali, menyebabkan arsitektur kolonial di sini memiliki tampilan yang cukup “simpatik” beradaptasi di tengah-tengah lingkungan, dan arsitektur Bali masa kini.

Dibangun pada 1914

Bagaimana dengan elemen pembentuk arsitekturalnya? Elemen-elemen konstruksi bangunan kolonial ini masih dipengaruhi bentuk-bentuk yang simetris, lengkungan, atau komponen klasik lainnya, serta memiliki halaman yang luas. Sebagai contoh, sebuah rumah kolonial Belanda milik Teodurus Marijankoop di kawasan Jl. Gajah Mada yang dibangun pada tahun 1914, berdiri di atas tanah seluas 16 are. Rumah ini masih dalam keadaan asli, belum mengalami perubahan, baik dari struktur konstruksi, bahan, maupun bentuknya.

Denah bangunan induk berbentuk simetris dan terhadap bangunan “servis” di sebelahnya, dihubungkan oleh koridor/selasar. Bangunan induk bagian depan memiliki semacam porch — berfungsi sebagai ruang peralihan antara luar dan dalam. Pilaster (sejenis kolom/pilar, bagian dari bangunan pemerkuat dindingnya), finishing bermotif alur cekung vertikal, dikombinasi garis horizontal pada bagian bawah dan cornice atas. Memiliki kusen pintu dan jendela yang tinggi berdaun krepyak, bercat warna hijau daun. Pada bagian atas, menyatu dengan kusen pintu, terdapat oculus — jendela atau lobang ventilasi, kombinasi persegi dan bentuk lingkaran. Bentuk geometris lengkungan parabola model Gothik hanya ditemukan pada bidang datar vertikal bagian depan porch, dan di sisi kiri-kanan bagian bawahnya (menempel pada tiang) dirajut oleh alur-alur silang diagonal yang terbuat dari kayu.

Dari porch — melalui pintu utama, sebelum memasuki kamar-kamar tidur dan ruang keluarga, mesti melalui sebuah lorong sepanjang 4,50 meter dengan lebar 1,80 meter. Semua pintu maupun jendela pada bangunan induk memiliki dua daun berkrepyak. Berbeda dengan bangunan “servis” seperti dapur, gudang, ruang makan, kamar mandi dan wc, masing-masing hanya memiliki satu daun pintu. Bahan atap dari genting, dan pada ujung atap induk yang menerus ada bagian-bagian atap berbentuk segitiga, memiliki ornamen menyerupai motif gable (bentuk segitiga atau bentuk lainnya mengikuti konstruksi atap) yang ada pada bangunan Eropa.

Ada lagi arsitektur rumah kolonial di Jl. Surapati. Di sini, bentuk maupun gaya yang ditampilkannya agak berbeda dengan rumah kolonial yang telah disebutkan tadi. Rumah ini berukuran besar, memiliki kemiringan atap genting yang curam serta tak simetris. Beranda depan terbuka, sebagai ruang terima tamu, yang tak memiliki ruang peralihan (porch). Ruang tamu ini memiliki luivel pada bagian depan atas, memiliki ketebalan dinding “satu bata” (sekitar 30 cm). Menurut pemiliknya, bangunan ini sudah berusia 55 tahun lebih, dan belum pernah dipugar, kecuali pergantian genting yang rusak/pecah, serta pengecatan/pelaburan. Pada rumah ini pun terdapat koridor beratap sebagai penghubung antara bangunan induk dengan bangunan di sebelahnya.

Kurang Terawat
Ada satu sisi yang berbeda keadaannya dalam arsitektur kolonial yang terdapat di Pelabuhan (Pabean) Buleleng. Di sini kondisi arsitektur kolonialnya seperti kurang terawat, dan berkesan tersembunyi. Dengan keadaan yang demikian, sepatutnya perlu dilakukan revitalisasi sehingga bisa digunakan kembali, kendatipun fungsinya berbeda dari keadaan sebelumnya. Beberapa unit bangunan perkantoran yang terletak di pelabuhan ini memiliki bentuk yang berbeda. Sebuah blok bangunan induk memiliki konsol atap mengelilingi bangunannya. Kolom bagian depan berbentuk silendris, mirip order ionic (dalam arsitektur Yunani) dengan entablature dan detail-detail hiasan architrave sangat sederhana bergaris horizontal.

Pada bangunan lain yang ada di sebelahnya, paling dekat dengan pantai, juga bangunan kantor pelabuhan beratap pelana. Memiliki ukuran jendela yang tak terlalu besar, dan pada dinding atasnya memiliki oculus berbentuk lingkaran berdiameter 20 cm. Kondisinya juga tak terawat, khususnya terlihat pada bagian plafon dan beberapa bagian rangkanya yang sudah runtuh.

Namun ada juga sisi lain yang memberi nuansa yang khas dari segi tampilannya. Di belakang (sebelah selatan) kedua bangunan tadi, ada sebuah arsitektur kong tjo atau kelenteng — dinamakan tempat ibadat Tri Dharma “Ling Gwan Kiong”. Dalam rancangan ini, konsep dan fisik arsitekturnya terlihat sangat signifikan dengan konsep ruang sebagai tempat peribadatan, dan didominasi unsur-unsur rancangan dalam kandungan filosofi tradisi Cina (etnis Tionghoa), dengan sangat sedikit menggunakan ornamen dari pengaruh kolonial. Arsitektur kelenteng ini biasanya banyak dikunjungi jemaat kalangan Tionghoa saat merayakan hari raya Tionghoa, seperti Tahun Baru Imlek, King Thie Kong, Cap Go Meh, dll.

Tempat lainnya, beberapa arsitektur rumah kolonial di jalan Ngurah Rai terlihat masih bertahan dan terawat. Konstruksi dan elemen-elemen bangunannya masih nampak asli. Bangunan yang posisinya berada di sebelah timur jalan, berdiri di atas tanah berkontur tinggi, dengan halaman yang luas dan tanaman yang rimbun. Bentuk fisik bangunan induk juga simetris, dengan bagian tengah menonjol ke luar. Sedangkan yang berdiri di sebelah barat jalan, berdiri di atas tanah datar yang hampir sama dengan ketinggian jalan raya.

Satu Kesatuan
Beberapa hal lain yang bisa diamati di sini adalah sbb.
1. Arsitektur kolonial Belanda ini tetap berupaya menyesuaikan diri dengan iklim tropis di Bali, seperti kedudukan plafon yang umumnya sangat tinggi, kemiringan atap yang curam, beberapa memiliki konsol tritisan, penggunaan daun jendela krepyak kayu (membantu sirkulasi udara), sistem ventilasi atau oculus dan lorong yang berfungsi sebagai isolasi panas.
2. Adanya elemen-elemen arsitektur berciri gaya klasik Eropa, seperti order ionic, doric, porch, pilaster, architrave, gable, tympanum, pelengkung bentuk parabola, dll.
3. Bentuk masa bangunan induk (yang umumnya) simetris dan disertai dengan koridor (beratap) penghubung dengan bangunan servis.
4. Setiap dinding bangunan rata-rata memiliki ketebalan sekitar 30 cm, dengan kedudukan kusen pintu dan jendela yang tinggi (ambang kusen atas antara 2,30 – 2,60 meter dari permukaan lantai.
Di antara pembangunan gedung-gedung baru di kota ini, seyogyanya masyarakat tetap pula menjaga, memelihara, dan melestarikan arsitektur kolonial Belanda — salah satu unsur penunjang karakter kota lama — di sini. Sekaligus pula guna meningkatkan kualitas lingkungan dan arsitektur yang memiliki nilai seni, arsitektonis dan historis. Konservasi dan pembangunan bisa diibaratkan sebagai dua sisi dari keping uang yang sama. Keduanya merupakan satu kesatuan utuh, yang sama-sama dibutuhkan untuk mewujudkan arsitektur dan lingkungan kota yang berpribadi dan berjanji diri.

* I Nyoman Gde Suardana

Sumber: Bali Pos, 23 Februari 2003

Surabaya Telah Kehilangan Jari Diri sebagai Kota

Februari 20, 2003

Surabaya, Kompas – Surabaya sebagai kota yang kaya dengan peninggalan bersejarah, kini telah kehilangan jati dirinya. Bangunan, jalan, dan situs cagar budaya banyak yang tidak terlacak. Bahkan, banyak di antaranya yang dirobohkan dan kemudian didirikan bangunan baru yang sama sekali berbeda dengan bangunan semula.

Sebagai sebuah kota yang banyak dibangun dengan arsitektur kolonial, Surabaya sebenarnya memiliki ciri dan karakter bangunan, jalan, dan saluran yang tertata rapi dengan pertimbangan matang seperti kota-kota di Eropa. Dalam perjalanannya, akibat buruknya pengawasan dan kurangnya pemahaman aparat tentang pentingnya cagar budaya, pertumbuhan kota menjadi tidak terarah.

Sementara dua pakar tata ruang menilai, perkembangan Surabaya sebagai kota industri dinilai sangat pesat, namun perkembangan itu dinilai mengabaikan tata ruang dan wilayah yang berlaku. Padahal, Jawa Timur (Jatim) dan Surabaya merupakan daerah yang cepat membuat rencana tata ruang.

Dua pakar itu adalah Dr Howard Dick, associate professor The University of Melbourne (Australia), dan Ir Is Purwono, pengajar jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Keduanya ditemui menjelang acara diskusi buku Surabaya, City of Work (A socioeconomic history) karya Dr Howard Dick yang digelar oleh Dewan Kota Surabaya, Rabu (19/2).

Is Purwono menuturkan, rencana tata ruang yang dibuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun, ketika pada saat pelaksanaan pembangunan banyak terjadi pelanggaran aturan dan peruntukan dalam rencana rata ruang, kedua pihak itu tidak melakukan tindakan apa pun untuk mencegahnya.

Pengajar Urban Planning ITS itu menjelaskan, saat ini bukan hanya masyarakat yang melanggar aturan tata ruang. Namun, pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya juga nyata- nyata melanggar aturan karena mengeluarkan izin membangun yang tidak semestinya.

Tanpa karakter

“Banyak bangunan yang dibangun tanpa mempertimbangkan karakter bangunan di sekitarnya sehingga justru tampak asing dan tidak estetis,” kata anggota Tim Pelestarian Cagar Budaya Surabaya Sugeng Gunadi seusai acara sosialisasi tentang pelestarian benda cagar budaya Surabaya di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, kemarin.

Hingga kini, jumlah bangunan cagar budaya yang berhasil diinventarisasi tim cagar budaya, seperti yang dikuatkan Surat Keputusan Wali Kota Nomor 188.45/004/402.1.04/1998 tentang Penetapan Cagar Budaya di Wilayah Surabaya, sebanyak 163 buah. Jumlah ini masih jauh dari fakta di lapangan. “Sebenarnya bisa ribuan, tetapi ada kendala biaya investarisasi,” kata Kepala Bappeko Tondojekti.

Diakui, Pemkot Surabaya tidak berdaya melestarikan bangunan cagar budaya. Selain karena faktor kesadaran aparat dan warga yang kurang, juga faktor perlindungan hukum yang lemah. Peraturan daerah (perda) yang memiliki kekuatan hukum baru dalam rencana.

Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang mengatur sanksi hukuman kurungan maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 100 juta bagi warga yang merusak atau mengubah bentuk bangunan tanpa izin pemerintah, kenyataannya lemah di lapangan.

Fungsi tim cagar budaya maupun upaya Pemkot Surabaya untuk melestarikan bangunan atau situs cagar budaya, hingga kini belum tersosialisasi ke tingkat pemilik atau pengelola bangunan cagar budaya. Akibatnya, perubahan total bentuk bangunan dan kawasan semakin membabi buta.

Bangunan lama yang semestinya diperkuat dan dipercantik, justru semakin tertutup papan-papan reklame yang berdiri tak tertata. Sebagai contoh, situs Tunjungan dan situs Darmo. Kedua kawasan yang pernah menjadi trade mark Surabaya tempo dulu itu kini kehilangan “ruh”-nya dan semakin semrawut.

“Dua kawasan itu menjadi bukti bahwa Surabaya kehilangan jati diri kota,” kata Sugeng yang juga staf pengajar arsitektur ITS Surabaya. Padahal, banyak bukti bahwa bangunan lama masih menarik perhatian, seperti Hotel Majapahit, Gedung Grahadi, dan Hotel Ibis.

Abaikan tata ruang

Salah satu contoh ketidaktegasan pemkot dalam menangani masalah peruntukan wilayah adalah penggusuran masyarakat yang dilakukan oleh suatu kelompok pengembang. Padahal, masyarakat itu telah berdiam lama di daerah tersebut.

Sementara itu, Howard Dick menuturkan, Surabaya yang pada awal tahun 1900-an hanya mempunyai wilayah kecil kini telah berkembang pesat. Saat ini wilayahnya sangat luas sehingga perkembangan ekonomi dan sosial pun menjadi luas.

Bahkan, perkembangan tersebut bagaikan tidak mengacu kepada satu panduan tertentu. Di beberapa lokasi muncul perumahan, sementara di lokasi yang sama juga muncul industri. “Semakin lama, penggusuran semakin banyak terjadi demi perkembangan kota,” kata Howard Dick. (IDR/GSA)

Sumber: Harian Kompas, Kamis 20 Februari 2003.

Kampung Bandan, Kampung Budak

Februari 17, 2003

TAK ada yang istimewa dari Kampung Bandan di Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Penduduknya padat dan lingkungannya kumuh. Saluran air, got, dan kalikali kecil selalu tergenang air berwarna hitam pekat dan menebarkan aroma tak sedap. Sudah begitu, banyak anak-anak yang seenaknya buang air kecil dan besar.
Kampung Bandan dalam sejarahnya merupakan lokasi penampungan budak-budak dari Banda di Maluku pada zaman Hindia Belanda. Tahun 1621, Gubernur Jenderal J P Coen menaklukkan Pulau Banda. Di pulau tersebut J P Coen melakukan pembunuhan dan pembantaian yang luar biasa kejamnya.

Rakyat Banda yang selamat ditawan dan diangkut ke Batavia (Jakarta). Di pusat pemerintahan Hindia Belanda itu, orang-orang Banda dikurung di sebuah penjara. Karena tidak muat, banyak dari mereka dimukimkan di sekitar penjara dengan pengawasan ketat.

“Sampai tahun 1633, budakbudak itu masih dirantai,” kata Isa Ansyori, Kepala Seksi Koleksi Museum Sejarah Jakarta. Setiap bulan, Museum Sejarah Jakarta memang menggelar acara jalan-jalan yang diberi tajuk “Program Wisata Kampung Sejarah”. Akhir Januari lalu, Kampung Bandan mendapat giliran dikunjungi.
Menurut Ansyori, pada tahun 1682 budak-budak di Kampung Bandan pernah memberontak melawan VOC di Marunda. Namun, apalah artinya pemberontakan mereka melawan VOC yang saat itu sudah mempunyai persenjataan lengkap. Konsekuensi dari pemberontakan yang gagal itu, sebagian budak Kampung Bandan dikirim ke Srilangka yang juga menjadi daerah kekuasaan Belanda.

Ketika era perbudakan berakhir, para eks budak dari Bangka itu tetap tinggal di Kampung Bandan. Rumah- rumah mereka berbentuk gubuk yang terbuat dari bambu, tikar, dan jerami. Untuk hidup sehari-hari, mereka bekerja sebagai nelayan, petani, dan ada juga yang menjadi serdadu VOC.

WAKTU itu, Pelabuhan Pasar Ikan merupakan pusat perdagangan yang sangat ramai. Di sanalah budak-budak dari Kampung Bandan dipekerjakan.

Seiring dengan perkembangan perdagangan di Batavia, pemerintah Hindia Belanda membangun pelabuhan baru di Tanjung Priok. Untuk menghubungkan kedua pelabuhan yang berjarak sekitar delapan kilometer itu, Belanda membangun rel kereta api, lengkap dengan stasiunnya.

“Kampung Bandan menjadi stasiun kereta barang yang pertama di Jakarta,” kata Ansyori. Sampai sekarang Stasiun Kampung Bandan masih berfungsi sebagai stasiun kereta barang yang melayani jurusan Jakarta-Surabaya. Dari stasiun itu, setiap hari sedikitnya 50 gerbong diberangkatkan ke Surabaya.

Sekarang, tidak banyak peninggalan sejarah tua Kampung Bandan yang tersisa, selain cerita perbudakan, stasiun kereta api, dan beberapa gudang tua yang tidak terawat. Yang lain, Masjid Kampung Bandan yang didirikan akhir abad XVIII.

Kini, pihak Museum Sejarah Jakarta berusaha menggali kembali cerita-cerita lama tentang Kampung Bandan. Lewat program Wisata Kampung Tua, setidaknya masyarakat diajak kembali menengok sejarah masa lalu yang penuh warna. Dari program itu, setidaknya warga Jakarta mengenali sejarah bangsanya. Bukan saja gegap gempitanya perjuangan para pahlawan melawan penjajah, tetapi juga sejarah penderitaan masyarakat kecil yang menjadi korban rezim imperialis. (LUSIANA INDRIASARI)

Sumber: Kompas, Senin, 17 Februari 2003

Kembang Jepun, Riwayatmu Kini

Februari 6, 2003

BERJALAN-jalan di sepanjang kawasan Kembang Jepun saat ini tampak jajaran puluhan bangunan dengan arsitektur besar dan megah. Catnya kebanyakan kusam tertutup debu. Sebagian besar merupakan toko mesin diesel, grosir, atau kantor advokat.

JARANG sekali ada rumah penduduk. Para pedagang yang hilir mudik keluar masuk toko sudah menjadi irama hidup jalan itu. Akan tetapi, begitu sore datang dan para pedagang pulang, jalanan menjadi lengang dan gelap.

Tidak ada kesibukan yang tersisa kecuali beberapa pedagang makanan kaki lima yang tengah menggelar dagangannya. Sepertinya bukan lagi kawasan perdagangan yang sudah kesohor sejak berdirinya Kota Surabaya.

Kemudian, dengan berbagai pertimbangan, pemerintah kota dengan gagah berani memutuskan untuk merelokasi sekitar 140 pedagang kaki lima dari tujuh kawasan tertib lalu lintas di Kota Surabaya ke kawasan tersebut.

Di tengah maraknya pemindahan pedagang kaki lima tersebut, nama Kembang Jepun pun disebut-sebut. Kejayaan dan arti jalan sepanjang 750 meter tersebut bagi Kota Surabaya masa lalu kembali diungkit.

Sementara berbicara tentang Kembang Jepun memang tidak bisa lepas dari kawasan Jembatan Merah secara keseluruhan. Bukan hanya sejarah kepahlawanan mempertahankan Surabaya, tetapi juga kebijakan pemerintah kolonial Belanda ratusan tahun lalu.

Seperti yang pernah diungkapkan Ir Handinoto, pengajar arsitektur di Universitas Kristen Petra yang pernah meneliti perkembangan kota dan arsitektur kolonial Belanda di Surabaya (1870-1940). Sejak zaman Deandels yakni tahun 1811, pusat pemerintahan di Kota Surabaya terletak di kawasan Jembatan Merah.

Di situ terdapat kantor residen serta ruang kegiatan pemerintahan lainnya seperti bea cukai dan kantor kepolisian yang berhadapan dengan Jembatan Merah (kalau berjalan dari arah Kembang Jepun). Semua tergabung dalam satu gedung.

Sampai tahun 1905 pusat Kota Surabaya tetap berlokasi di daerah sekitar Jembatan Merah. Pelabuhan Tanjung Perak saat itu belum ada, sehingga kapal-kapal dari Selat Madura dapat berlayar mengikuti Kali Mas yang menuju Jembatan Merah.

Dari pusat pemerintahan tersebut kemudian timbul kegiatan ekonomi di sekitarnya. Pedagang-pedagang utama dan kelas kakap yakni bangsa Eropa bermukim di daerah barat Jembatan Merah, seperti Jalan Jembatan Merah dan Jalan Rajawali (dulu dinamai Willenstraat dan Heerenstraat).

Maskapai dan bank-bank kebanyakan berada di wilayah Eropa yakni berlokasi di sepanjang Heerenstraat atau sekarang Jalan Rajawali.

Sementara, daerah sebelah timur ditempati oleh warga Asia seperti Tionghoa, Arab, dan Melayu. Pengelompokan tersebut tidak terlepas dari adanya undang-undang wilayah atau Wijkenstelsel yang ditetapkan Belanda.

PENULIS buku “Soerabaia Tempo Doeloe”, Dukut Imam Wibowo menambahkan, masyarakat Cina menjadi golongan yang cukup penting di Surabaya. Mereka sudah ada sejak tahun 1411 yang pada awalnya mereka mendiami suatu daerah di timur Kali Mas yang disebut chinese kamps atau Kampung Cina.

Jalan-jalan yang ditempati warga Tionghoa itu antara lain adalah Chinesevorstraat yang sekarang menjadi Jalan Karet dan Handelstraat atau Kembang Jepun.

Yang disebut terakhir, lantas berkembang sebagai sentra dagang besar di Kota Surabaya. Terlebih lagi dengan posisinya yang sangat strategis yakni sebagai jalan lewatan dan muara dari banyak jalan kecil di sepanjang jalan itu. Kembang Jepun tumbuh menjadi pusat grosir sekaligus rumah tinggal para pedagang.

Terlebih lagi, kata Dukut Wibowo, para pejabat Pemerintah Hindia Belanda yang tidak begitu pintar mengelola bisnis memperjualbelikan pacht atau hak monopoli seperti pacht rumah gadai, pelacuran, dan candu kepada pedagang Tionghoa.

Dukut mengungkapkan berdasarkan dokumentasi foto yang dikumpulkannya dari Negeri Belanda, tergambarkan bahwa para pebisnis Eropa umumnya mengenakan jas tutup serta topi polka putih. Sedangkan, pedagang Tionghoa umunya memakai baju longgar dengan rambut panjang dikelabang.

Ada berbagai pendapat mengapa handelstraat kemudian disebut Kembang Jepun. Handinoto lalu menceritakan versinya. Ketika Jembatan Merah menjadi pusat kota, pedagang yang ingin berbisnis ke Handelstraat harus melewati pemeriksaan di residen.

Proses pemeriksaan dan kegiatan berdagang tersebut menumbuhkan berbagai hotel dan losmen untuk bermalam para pebisnis. Di tempat tersebutlah, kupu-kupu malam dari Negeri Sakura-yang saat itu tengah mengalami masa kegelapan-menjadi bagian dari geliat malam sepanjang jalan tersebut. Orang pun kemudian menyebutnya Jalan Kembang Jepun. Jepun dalam bahasa melayu, kata Handinoto, berarti Jepang.

Seiring dengan perkembangan kota yang semakin sesak dan selesainya pembangunan Pelabuhan Tanjung Perak pada tahun 1910, mulai muncul sentra dagang lain. Perdagangan tidak hanya terpusat di Jembatan Merah dan sekitarnya.

Kembang Jepun yang tadinya sekaligus menjadi rumah hunian bagi pedagang, mulai ditinggalkan. Pemiliknya yang telah makmur memilih tempat tinggal di daerah lain. Dan, kota pun menjadi sepi saat ditinggalkan para pemiliknya.

KINI ada suasana berbeda begitu memasuki Jalan Kembang Jepun di malam hari. Lampu-lampu hias di atas jalan berpijar semarak. Trotoar sedikit lebih ramai oleh pedagang kaki lima penjual makanan, seiring dengan kebijakan relokasi oleh pemerintahan kota.

Mulai yang berjualan, sate, nasi goreng, nasi campur, martabak dan tentu saja makanan ala Tionghoa. Mungkinkah para pedagang gusuran ini mampu menjadi pahlawan untuk kembali menyemarakkan pusat kota yang sudah temaram itu?

Sebelumnya, seperti diungkapkan Marnisih (52) yang lahir dan besar di Jalan Panggung dekat Kembang Jepun, sekitar dua puluh tahun yang lalu sudah ada pedagang kaki lima makanan di sana. “Yang terlama adalah warung mi dan masakan Tionghoa itu,” katanya sambil menunjuk warung bertenda kuning dengan latar belakang kain bertuliskan daftar menu.

Di belakang jalan tersebut menurutnya, memang masih ada sebagian kecil rumah tinggal. Untuk memenuhi kebutuhan mereka, bermunculanlah beberapa pedagang kaki lima yang menjual makanan. Umumnya mereka menyajikan penganan khas Tionghoa.

Tak dapat dimungkiri, relokasi para pedagang tersebut turut membangun ekonomi baru di sepanjang Jalan Kembang Jepun. Beberapa warga sekitar yang awalnya tidak berjualan, kemudian memutuskan untuk mengadu untung berdagang makanan di sana.

Dari (30), warga Rumah Susun Sumbo, mengatakan, awalnya ia hanya ibu rumah tangga. Kini, ia telah memiliki sebuah warung tenda yang menjual kikil dan berbagai minuman hasil olahannya.

Ia mengeluarkan uang sekitar Rp 2,2 juta untuk membangun warung tenda baru tersebut. Selama dua hari berjualan, kata Dari, untungnya cukup lumayan. Dalam sehari ia memperoleh sekitar Rp 85.000. Walaupun, faktor hiburan dangdut yang diselenggarakan pemerintah kota dalam pembukaan lokasi itu juga menjadi faktor pendukung.

Demikian juga dengan Marnisih yang siang hari membuka warung nasi di Jalan Panggung, berniat menjual bebek goreng di waktu malam.

PROSPEK bagi para pemain baru tersebut boleh jadi justru menjadi bencana bagi para pedagang lama yang terpaksa hengkang dari tempat lamanya dan mulai dari nol kembali.

Musmin Hadiwijaya, pemilik warung Lesehan Surabaya mengatakan, saat berdagang di Taman Surya omzetnya mencapai satu juta rupiah dalam semalam. Kini, paling banter ia hanya memperoleh Rp 300.000. Akibatnya, dari sekitar 140 pedagang yang rencananya akan menempati kawasan itu, belum ada separuhnya yang pindah.

Terlepas dari kontroversi tersebut, Handinoto berpendapat, Kembang Jepun dapat saja berpotensi sebagai Malioboro-nya Surabaya. Namun, itu tidak terlepas dari peran serta pemerintah kota, karena, biar bagaimanapun, Kembang Jepun mempunyai karakter yang berbeda dengan Malioboro yang selalu ramai di waktu malam. Jadi, tergantung kreativitas dalam menghidupkan jalan itu.

Selain itu, menurutnya, yang perlu diperhatikan adalah fasilitas sosial di tempat tersebut, seperti, tempat sampah, lampu, kamar kecil, dan yang tidak kalah penting adalah fasilitas pencegah kebakaran.

“Terkadang, pemerintah membuat kebijakan tanpa perencanaan yang jelas. Pedagang dimasukkan saja terlebih dahulu. Baru kemudian dipikirkan fasilitas pendukungnya. Seharusnya, fasilitas itu disiapkan dulu, lalu mereka dipindahkan,” ujarnya.

Demikian pula dengan program hiburan di tempat tersebut. Dukut mengatakan, jika tidak ada kelanjutannya, relokasi itu akan sia-sia saja.

Ia usul agar pemerintah memberi ciri khas, baik para pedagangnya, tenda tempat berjualan, atau lokasi tersebut secara keseluruhan. “Dengan menambahkan gapura bertuliskan Kembang Djepoen yang bernuansa tempo dulu saja, itu sudah memberi ciri,” ujarnya.

Perjuangan kembali dilakukan oleh mereka yang tergusur, persis seperti yang dilakukan para pahlawan revolusi. Kalau berhasil, maka para PKL yang tersingkir ini akan menjadi pahlawan di era peperangan ekonomi saat ini, namun kalau gagal, nasibnya akan tenggelam bersama obsesi Pak Wali Kota. (Indira Permanasari)

Sumber: Harian Kompas, Kamis, 06 Februari 2003.