Di kota Singaraja, jika ditelusuri, akan bisa ditemui adanya beberapa peninggalan arsitektur tempo doeloe, yang lazim dikenal dengan arsitektur kolonial Belanda. Arsitektur yang “diwariskan” ini ada yang berupa kantor, sekolah, rumah tinggal, gereja, dll. Di rentang perjalanan usia, adakah bersandar denyut kegundahan di hati? Akankah ia tetap lestari, di muka bumi “Panji Sakti”?
SINGARAJA, ibukota kabupaten Buleleng, Bali, selain dijuluki sebagai kota “panas”‘, berlambang patung Singa Ambararaja, dan sebagai cikal bakal ibukota “Sunda kecil” waktu dulu, ternyata menyimpan “kekayaan” arsitektur kolonial Belanda, yang jarang dijumpai pada kota-kota kabupaten lain di Bali. Arsitektur kolonial ini bisa dijumpai di lingkungan Sukasada, Liligundi, di Jl. Ngurah Rai, Jl. Gajah Mada, pelabuhan Buleleng, Jl. Surapati, dll. Beberapa peninggalan arsitektur kolonial ini masih nampak bertahan dan utuh, namun tak sedikit yang sudah mengalami perubahan bentuk, atau menggunakan material berbeda dari keadaannya semula.
Mengamati kenyataan ini, mungkin perlu diupayakan suatu konservasi arsitektur kolonial Belanda di Singaraja. Geliat arsitektur kolonial di kota ini seakan mengusung citra berkelanjutan, yang digayuti kenangan masa silam. Tentu lebih bijak sekiranya masyarakat turut berperan, memahami, menjaga dan menghargai keberadaan arsitektur peninggalan bersejarah, yang selain masih bisa digunakan seara fungsional, juga kental dengan makna dan nilai historis.
Upaya dan harapan ini digelar, guna menghindari terjadinya pembongkaran semena-mena terhadap arsitektur kuno/kolonial, agar tetap mengindahkan kelestarian nilai-nilai historika arsitekturalnya, yang diayomi oleh ranah lingkup: konservasi. Seperti yang dicetuskan dalam kesepakatan internasional yang dirumuskan dalam “Piagam Burra” (1981), konservasi merupakan istilah yang menjadi payung dari semua kegiatan pelestarian.
Konservasi — dalam segmen arsitektur — itu sendiri dapat dikatakan sebagai segenap proses pengelolaan suatu tempat/objek arsitektur agar makna arsitektural yang dikandungnya terpelihara secara baik. Perinal ini meliputi segenap kegiatan pemeliharaan yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat, yang di dalamnya mencakup preservasi, restorasi/rehabilitasi, rekonstruksi, dan adaptasi/revitalisasi.
Preservasi merupakan pelestarian suatu tempat persis seperti keadaan aslinya tanpa ada perubahan, termasuk upaya mencegah penghancuran. Sedangkan jika hanya mengembalikan suatu tempat ke keadaan semula, dengan menghilangkan tambahan-tambahan dan memasang komponen semula tanpa menggunakan bahan baru, disebut dengan restorasi/rehabilitasi.
Bagaimana dengan rekonstruksi? Bedanya dengan restorasi hanya pada penggunaan bahan/materialnya, yakni bahwa pada rekonstruksi bisa menggunakan bahan lama maupun baru. Kemudian istilah lain yang disebut dengan revitalisasi, adalah jika mengubah suatu objek arsitektur agar dapat digunakan untuk fungsi yang lebih sesuai (kegunaan yang tidak menuntut perubahan drastis), atau yang hanya mengalami dampak yang sangat kecil.
Mengapa konservasi terhadap arsitektur kolonial ini perlu diejawantahkan, dan perlu dijadikan bahan pertimbangan di dalam menentukan kebijakan? Tentunya hal ini tak bisa dilepaskan dengan posisi arsitektur kolonialnya. Selain sebagai “satuan fisik” yang berwujud bangunan, kelompok atau deretan bangunan, juga merupakan “satuan pandangan/visual” yang dapat memiliki arti dan peran penting bagi suatu tatanan kota, berupa aspek visual yang dapat memberi “bayangan mental” atau image yang spesifik — berciri khas — terhadap suatu lingkungan kota Singaraja.
Rekaman Sejarah
Peninggalan karya arsitektur kolonial Belanda merupakan sebagai salah satu rekaman sejarah dalam bentuk nyata yang membersitkan keberlanjutan peri kehidupan masyarakat pada masa lalu sampai kini, sekaligus sebagai bukti sejarah yang bisa dikenang oleh anak cucu tentang kandungan segi-segi historisnya. Sebab di era globalisasi saat ini, dalam laju perkembangan teknologi dan informasi yang serba canggih, cepat dan beragam, keberadaan bangunan bersejarah kolonial Belanda turut memberikan keunikan dan otentisitas tersendiri di dalam sebuah kota.
Generasi berikutnya tentu membutuhkan “ruang” dan peluang untuk bisa melihat, menyentuh dan merasakan bukti-bukti fisik sejarah serta kekayaan kultur di masa lalu. Pelestarian arsitektur kolonial di sini tentu turut memperkaya khasanah wajah lingkungan kota Singaraja. Mewujudkan karya arsitektur yang proporsional, holistik, baik dan mantap sekarang maupun di era mendatang, salah satu persyaratan utamanya adalah “hubungan dengan masa lampau”. Banyak karya arsitektur bermutu belajar dari arsitektur terdahulu, yang dapat memberikan inspirasi kepada para arsitek di dalam mengembangkan kreativitasnya.
Tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dan Bali umumnya, serta kota Singaraja khususnya pernah mengalami pengaruh occidental (Barat) di zaman penjajahan Belanda dahulu, dalam berbagai aspek kehidupan. Ihwal tersebut dapat diamati dari keberadaan arsitektur kolonial di kota ini. Kendati demikian, para perancang arsitektur kolonial pada masa itu kerap memadukan konsep lokal tradisional dalam merancang arsitekturnya. Contohnya, Puri Kanginan-Buleleng yang wujud tampilannya menunjukkan hasil dari pertautan konsep tersebut.
Sejalan dengan itu, eksistensi arsitektur peninggalan kolonial Belanda bersejarah ini dapat mencerminkan kisah historis tentang tatacara hidup, serta peradaban komunitas masyarakatnya ketika itu. Adanya akulturasi dalam arsitektur antara penjajah dan kultur Bali, menyebabkan arsitektur kolonial di sini memiliki tampilan yang cukup “simpatik” beradaptasi di tengah-tengah lingkungan, dan arsitektur Bali masa kini.
Dibangun pada 1914
Bagaimana dengan elemen pembentuk arsitekturalnya? Elemen-elemen konstruksi bangunan kolonial ini masih dipengaruhi bentuk-bentuk yang simetris, lengkungan, atau komponen klasik lainnya, serta memiliki halaman yang luas. Sebagai contoh, sebuah rumah kolonial Belanda milik Teodurus Marijankoop di kawasan Jl. Gajah Mada yang dibangun pada tahun 1914, berdiri di atas tanah seluas 16 are. Rumah ini masih dalam keadaan asli, belum mengalami perubahan, baik dari struktur konstruksi, bahan, maupun bentuknya.
Denah bangunan induk berbentuk simetris dan terhadap bangunan “servis” di sebelahnya, dihubungkan oleh koridor/selasar. Bangunan induk bagian depan memiliki semacam porch — berfungsi sebagai ruang peralihan antara luar dan dalam. Pilaster (sejenis kolom/pilar, bagian dari bangunan pemerkuat dindingnya), finishing bermotif alur cekung vertikal, dikombinasi garis horizontal pada bagian bawah dan cornice atas. Memiliki kusen pintu dan jendela yang tinggi berdaun krepyak, bercat warna hijau daun. Pada bagian atas, menyatu dengan kusen pintu, terdapat oculus — jendela atau lobang ventilasi, kombinasi persegi dan bentuk lingkaran. Bentuk geometris lengkungan parabola model Gothik hanya ditemukan pada bidang datar vertikal bagian depan porch, dan di sisi kiri-kanan bagian bawahnya (menempel pada tiang) dirajut oleh alur-alur silang diagonal yang terbuat dari kayu.
Dari porch — melalui pintu utama, sebelum memasuki kamar-kamar tidur dan ruang keluarga, mesti melalui sebuah lorong sepanjang 4,50 meter dengan lebar 1,80 meter. Semua pintu maupun jendela pada bangunan induk memiliki dua daun berkrepyak. Berbeda dengan bangunan “servis” seperti dapur, gudang, ruang makan, kamar mandi dan wc, masing-masing hanya memiliki satu daun pintu. Bahan atap dari genting, dan pada ujung atap induk yang menerus ada bagian-bagian atap berbentuk segitiga, memiliki ornamen menyerupai motif gable (bentuk segitiga atau bentuk lainnya mengikuti konstruksi atap) yang ada pada bangunan Eropa.
Ada lagi arsitektur rumah kolonial di Jl. Surapati. Di sini, bentuk maupun gaya yang ditampilkannya agak berbeda dengan rumah kolonial yang telah disebutkan tadi. Rumah ini berukuran besar, memiliki kemiringan atap genting yang curam serta tak simetris. Beranda depan terbuka, sebagai ruang terima tamu, yang tak memiliki ruang peralihan (porch). Ruang tamu ini memiliki luivel pada bagian depan atas, memiliki ketebalan dinding “satu bata” (sekitar 30 cm). Menurut pemiliknya, bangunan ini sudah berusia 55 tahun lebih, dan belum pernah dipugar, kecuali pergantian genting yang rusak/pecah, serta pengecatan/pelaburan. Pada rumah ini pun terdapat koridor beratap sebagai penghubung antara bangunan induk dengan bangunan di sebelahnya.
Kurang Terawat
Ada satu sisi yang berbeda keadaannya dalam arsitektur kolonial yang terdapat di Pelabuhan (Pabean) Buleleng. Di sini kondisi arsitektur kolonialnya seperti kurang terawat, dan berkesan tersembunyi. Dengan keadaan yang demikian, sepatutnya perlu dilakukan revitalisasi sehingga bisa digunakan kembali, kendatipun fungsinya berbeda dari keadaan sebelumnya. Beberapa unit bangunan perkantoran yang terletak di pelabuhan ini memiliki bentuk yang berbeda. Sebuah blok bangunan induk memiliki konsol atap mengelilingi bangunannya. Kolom bagian depan berbentuk silendris, mirip order ionic (dalam arsitektur Yunani) dengan entablature dan detail-detail hiasan architrave sangat sederhana bergaris horizontal.
Pada bangunan lain yang ada di sebelahnya, paling dekat dengan pantai, juga bangunan kantor pelabuhan beratap pelana. Memiliki ukuran jendela yang tak terlalu besar, dan pada dinding atasnya memiliki oculus berbentuk lingkaran berdiameter 20 cm. Kondisinya juga tak terawat, khususnya terlihat pada bagian plafon dan beberapa bagian rangkanya yang sudah runtuh.
Namun ada juga sisi lain yang memberi nuansa yang khas dari segi tampilannya. Di belakang (sebelah selatan) kedua bangunan tadi, ada sebuah arsitektur kong tjo atau kelenteng — dinamakan tempat ibadat Tri Dharma “Ling Gwan Kiong”. Dalam rancangan ini, konsep dan fisik arsitekturnya terlihat sangat signifikan dengan konsep ruang sebagai tempat peribadatan, dan didominasi unsur-unsur rancangan dalam kandungan filosofi tradisi Cina (etnis Tionghoa), dengan sangat sedikit menggunakan ornamen dari pengaruh kolonial. Arsitektur kelenteng ini biasanya banyak dikunjungi jemaat kalangan Tionghoa saat merayakan hari raya Tionghoa, seperti Tahun Baru Imlek, King Thie Kong, Cap Go Meh, dll.
Tempat lainnya, beberapa arsitektur rumah kolonial di jalan Ngurah Rai terlihat masih bertahan dan terawat. Konstruksi dan elemen-elemen bangunannya masih nampak asli. Bangunan yang posisinya berada di sebelah timur jalan, berdiri di atas tanah berkontur tinggi, dengan halaman yang luas dan tanaman yang rimbun. Bentuk fisik bangunan induk juga simetris, dengan bagian tengah menonjol ke luar. Sedangkan yang berdiri di sebelah barat jalan, berdiri di atas tanah datar yang hampir sama dengan ketinggian jalan raya.
Satu Kesatuan
Beberapa hal lain yang bisa diamati di sini adalah sbb.
1. Arsitektur kolonial Belanda ini tetap berupaya menyesuaikan diri dengan iklim tropis di Bali, seperti kedudukan plafon yang umumnya sangat tinggi, kemiringan atap yang curam, beberapa memiliki konsol tritisan, penggunaan daun jendela krepyak kayu (membantu sirkulasi udara), sistem ventilasi atau oculus dan lorong yang berfungsi sebagai isolasi panas.
2. Adanya elemen-elemen arsitektur berciri gaya klasik Eropa, seperti order ionic, doric, porch, pilaster, architrave, gable, tympanum, pelengkung bentuk parabola, dll.
3. Bentuk masa bangunan induk (yang umumnya) simetris dan disertai dengan koridor (beratap) penghubung dengan bangunan servis.
4. Setiap dinding bangunan rata-rata memiliki ketebalan sekitar 30 cm, dengan kedudukan kusen pintu dan jendela yang tinggi (ambang kusen atas antara 2,30 – 2,60 meter dari permukaan lantai.
Di antara pembangunan gedung-gedung baru di kota ini, seyogyanya masyarakat tetap pula menjaga, memelihara, dan melestarikan arsitektur kolonial Belanda — salah satu unsur penunjang karakter kota lama — di sini. Sekaligus pula guna meningkatkan kualitas lingkungan dan arsitektur yang memiliki nilai seni, arsitektonis dan historis. Konservasi dan pembangunan bisa diibaratkan sebagai dua sisi dari keping uang yang sama. Keduanya merupakan satu kesatuan utuh, yang sama-sama dibutuhkan untuk mewujudkan arsitektur dan lingkungan kota yang berpribadi dan berjanji diri.
* I Nyoman Gde Suardana
Sumber: Bali Pos, 23 Februari 2003