Wisata Arkeologis Banten Lama , Situs-situs yang Tak Terurus

Serang – Banten Lama banyak menarik perhatian. Pesonanya dipicu cerita kejayaan dan kemakmuran rakyat Banten pada masa lalu. Apalagi sisa kemajuan tadi masih bisa dijumpai di beberapa tempat. Alih-alih membangkitkan nostalgia, situs-situs itu justru menuai kritik dari sana-sini. Ini terjadi akibat benda-benda cagar budaya itu tampak dibiarkan kumuh dan tak terurus. Padahal, bila digarap serius situs Banten Lama berpotensi sebagai daerah tujuan wisata arkeologis.

Cuaca siang itu (15/04) terlihat begitu cerah. Hawa panas yang ada sudah cukup membuat keringat bercucuran. Tapi itu tak menyurutkan langkah Endjat Djaenuderadjat. Dengan semangat menggebu Kepala Dinas Suaka Purbakala Banten ini asyik menerangkan sejarah kejayaan Banten kepada rombongan wartawan. Datang dari Jakarta, para kuli disket itu sengaja diajak keliling beberapa situs oleh Direktorat Purbakala dan Permuseuman dan Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala Serang.

Kali ini, lokasi yang dipilih reruntuhan Istana Surosowan. Istana ini dibangun ketika pasukan gabungan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin dan Pangeran Fatahillah berhasil mengalahkan Kerajaan Pajajaran dan merebut ibukota mereka, Banten Girang.

Di sekitar istana dibangun tembok atau benteng keliling. Areal benteng ini sekitar tiga hektar. Berbeda dengan benteng-benteng Eropa, di atas benteng tidak ada kupel atau bastion. Tetapi justru dibuat tiang-tiang tinggi tempat prajurit mengamati keadaan di luar benteng.

Pada masa Sultan Maulana Yusuf, putera Maulana Hasanuddin, benteng diperkuat dengan batu karang dan batu merah. Di sekeliling benteng digali parit-parit. Di dalam istana dibangun kolam mandi. ”Kolam ini disebut pemandian Loro Denok,” sebut Endjat. Sisa bangunan ini masih bisa terlihat. Hanya saja bukan lagi jadi tempat mandi para sultan tetapi jadi arena bermain gratis bagi anak-anak.

Sultan Ageng Tirtayasa mempercantik istana Surosowan dengan menyewa tenaga ahli dari Portugal dan Belanda, di antaranya Hendrik Lucasz Cardeel. Benteng istana diperkuat dan dipojok-pojoknya dibangun bastion, bangunan setengah lingkaran dengan lubang-lubang tembak prajurit mengintai dan menembak musuh. Endjat pun menunjukkan kepada kami ciri bangunan hasil rehabilitasi oleh Sultan Ageng Tirtayasa dengan pembangunan pada masa Sultan Maulana Yusuf.

Endjat juga menunjukkan karya seni dekor tinggi pada masa itu. Bukti ini masih bisa dijumpai pada sisa ubin merah yang dipasang dengan komposisi belah ketupat. Belum lagi sistem parit dan saluran air bawah tanah ke dalam kompleks istana.
Menurut Paulus Van Solt, pada 1605 dan 1607 benteng istana sempat mengalami kebakaran. Namun nasib istana Surosowan luluh lantak setelah Daendels memimpin pasukan Kompeni untuk menghancurkannya pada 21 November 1808.

Walau hanya tersisa reruntuhan, situs Surosowan sebetulnya masih cukup menarik sebagai salah satu obyek wisata arkeologis. Namun bila melihat kondisi sekarang ini, kami hanya bisa mengelus dada. Di sekeliling kompleks situs dipenubi pedagang kaki lima. Para pedagang ini membuka kios-kios sempit, menjajakan aneka barang bagi pengunjung Masjid Agung Banten Lama. Sampah pun berceceran di mana-mana.

Situs Istana Surosowan juga tak mendapat penjagaan yang layak, walau di sekelilingnya telah dipagari. Setiap orang bisa bebas berkeliaran ke dalam dengan beragam tujuan. Dari sekadar melihat-lihat, berwisata sampai bertapa di salah satu sudut. Lebih miris lagi, pada halaman depan dan bagian dalam istana kawanan ternak ikut ambil bagian. Kerbau, domba dan kambing asyik menikmati rumput yang manis. Melihat semua kenyataan tadi, Endjat hanya tersenyum getir. (SH/bayu dwi mardana)

Sumber: Harian Sinar Harapan 2003