Rumah “Ratu dari Timur”

Satu lagi sebuah bangunan kuno peninggalan zaman VOC (1619 – 1799) “diselamatkan”. Baik dari proses kehancuran akibat usianya yang tua, maupun dari kemungkinan digusur untuk kepentingan lain. Bangunan antik yang dikenal sebagai Gedung Arsip Nasional (GAN) itu selesai menjalani operasi pemugaran, diresmikan penggunaannya pada 1 November 1998 lalu.

Kalau saja bisa berbicara, Kali Krukut dan Sungai Ciliwung yang memisahkan Jl. Gajah Mada dan Jl. Hayam Wuruk, Jakarta, bisa bercerita lebih banyak tentang kisah bangunan antik itu beserta kehidupan masa lampau para penghuninya. Kita tentu akan asyik mendengarkan dongeng masa lalunya. Sayangnya, kedua sungai bagian hilir yang mengapit kompleks GAN seluas 1 ha itu hanya bisa diam membisu.

Sulit dibayangkan bahwa hampir dua setengah abad yang lalu bangunan itu berdiri di luar kota, karena letaknya di luar benteng Kota Batavia. Padahal saat ini wilayah itu “sangat kota” sekali. Sejak kawasan bertanah lembek dan berhutan itu menjadi lebih aman setelah tercapainya perdamaian antara VOC dengan Mataram (1677) dan Kesultanan Banten (1684), maka banyak orang berada, termasuk para pejabat VOC, mendirikan “rumah-rumah di luar kota”. Apalagi ancaman binatang buas dan kelompok budak yang melarikan diri mereda. Kawasan Molenvliet – nama daerah itu – yang ditaburi rumah-rumah mewah dan besar serta dikelilingi kebun luas membuat Batavia dijuluki “Queen of the East”.

Salah satu orang berada itu adalah Reinier de Klerk (1710 – 1780). Ia masih kadet ketika mendarat di Batavia untuk ketiga kalinya dan masuk dinas VOC sebagai nakhoda pada usia masih muda, 21 tahun. Kariernya terus menanjak dan semakin mantap hingga ia duduk sebagai anggota Dewan Hindia (semacam kabinet yang mendampingi gubernur jenderal). Dengan kedudukannya itulah ia menjadi kaya raya. Saat menjadi anggota dewan, ia membeli beberapa bidang tanah di bilangan Molenvliet Barat pada tahun 1755 – 1758. Kala itu, menurut Adolf Heuken SJ, pengamat tempat-tempat bersejarah, daerah itu sekitar 15 menit perjalanan kaki di selatan kota.

Beberapa tahun setelah itu, tepatnya pada 1760, de Klerk membangun semacam landhuis di tepi Sungai Ciliwung dengan halaman dan kebun yang luas (empat kali luas sekarang). Meski di tepi sungai, Molenvliet termasuk kawasan elite seperti Pondok Indah atau Permata Hijau sekarang. Kedekatan dengan kali juga menjadi pertimbangan de Klerk mengapa ia membangun rumah di situ. “Sungai mempermudah transportasi ke kota, termasuk untuk membawa barang, ketika jalan becek karena hujan atau berdebu saat kemarau,” ungkap Heuken.

Rumah induknya sendiri cukup besar untuk ukuran masa itu dan berlantai dua yang memperlihatkan gaya Renaissance ditandai dengan lay-out simetri ruang-ruangnya di atas lantai bangunan yang hampir bujur angkar bentuknya. Tangga menuju lantai atas sengaja diletakkan terpisah mungkin karena de Klerk tidak ingin para budak tampak mondar-mandir di ruang resepsi di lantai dasar.

“Rumah-rumah besar seperti itu juga banyak dibangun di kawasan elite lain di dalam benteng Kota Batavia, yang kini bernama Ancol dan Jl. Pangeran Jayakarta,” kata penulis buku Historical Sites of Jakarta itu.

Tanpa kamar mandi dan WC
Rancangan dasar kompleks rumah itu dibuat sendiri oleh de Klerk, yang juga memiliki Perkebunan Grogol yang luas dan istana di Buitenzorg (Bogor). Rumah utamanya mengikuti model closed Dutch style dengan ciri tanpa beranda, baik di bagian depan maupun di belakangnya. Konon model ini sesuai untuk rumah di daerah tropis. Jendela-jendela berukuran besar dan jumlahnya relatif banyak merupakan ciri lain dari rumah tropis di samping langit-langit yang tinggi.

Rumah model sejenis, menurut Heuken, juga banyak dijumpai di Eropa. “Tapi tidak dengan langit-langit yang tinggi dan jendela-jendela yang besar, sebab di musim dingin hawa pemanas akan naik ke atas (sehingga tidak menghangatkan ruangan),” katanya.

Rumah besar dan megah itu semula dibangun sebagai “rumah di luar kota” untuk menikmati udara segar dan air yang sehat bagi penghuninya. Sebab, kondisi lingkungan di dalam kota justru sebaliknya. Namun, dalam perjalanannya fungsi rumah berlantai dua itu terus berubah sejalan dengan karier de Klerk yang terus menanjak, bahkan terpilih sebagai gubernur jenderal pada 1777.

Sementara lantai atas untuk tempat tinggal keluarga, lantai dasar dipakai sebagai kantor urusan pemerintahan, misalnya sewaktu de Klerk jadi gubernur jenderal. Jadi mirip rumah mantan Presiden Soeharto di Jl. Cendana hingga Mei 1998 lalu. Sebagai gubernur jenderal, menurut Heuken, de Klerk mestinya tinggal di Benteng karena kantornya ada di sana. “Tapi karena lingkungan dalam Benteng tidak sehat dan airnya jelek, ia tidak suka tinggal di kota, meski sesekali ia pergi ke kota,” ungkap Heuken.

Selain itu, bagian rumah lain dipakai sebagai kantor urusan perniagaan. Urusan perniagaan ini lebih banyak dikelola oleh nyonya besar. Kebetulan, “Istri de Klerk, Sophia Francina Westpalm itu berasal dari keluarga Indo-Belanda yang kaya dan pandai berdagang,” kata Heuken. Kalau pagi, di lantai dasar itu sering digelar resepsi untuk para mevrouw (nyonya)– pejabat tinggi VOC. Lalu malam harinya resepsi untuk tuan-tuan besar yang diadakan oleh gubernur jenderal. Menurut Heuken, de Klerk gemar mengadakan resepsi malam hari dan minum alkohol yang dipercaya bisa sebagai obat sakit perut.

Kondisi ruangan bagian tengah di lantai dasar tampaknya cukup lega untuk keperluan pesta-pesta kecil itu. Suasana mewah di sekitar ruangan bergaya Renaissance yang dipengaruhi unsur-unsur barok-rokoko zaman raja Prancis Louis XV (terutama adanya ukiran-ukiran pada kusen jendela dan pintu serta kerawang atau lubang angin di atas pintu) mungkin semakin menambah gengsi peserta resepsi.

Bagi tetamu yang ingin bermalam, di kanan kiri rumah induk telah disediakan rumah khusus untuk tamu. Di belakang masing-masing rumah tamu terdapat paviliun berlantai dua untuk gudang dan tempat tinggal budak-budak tertentu. Tuan rumah dan para tamu mendapat pelayanan dari sekitar 150 budak dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Di antaranya juru masak, juru rias, pemain musik, kusir kereta kuda, dan tukang kebun. Menurut Heuken, para budak itu kebanyakan dibeli oleh de Klerk dari Bali dan Makassar. Meskipun ada juga yang didatangkan dari daerah lain, bahkan dari luar negeri seperti India atau Afrika.

Namun, satu hal yang masih menjadi teka-teki adalah tidak adanya kamar mandi dan WC di rumah induk maupun di sekitar kompleks. Heuken hanya bisa menduga-duga. “Saya kira waktu itu air dialirkan dari Kali Ciliwung ke halaman rumah dan keluar lagi ke kali. Di halaman itu dibuatkan ruangan untuk kamar mandi dan WC. Mengingat banyaknya tamu yang datang dan pembantu, pasti ada WC. Sedangkan pemilik rumah menggunakan pispot di malam hari lalu jam sembilan dibuang ke kali … Tapi saya tidak tahu pasti.”

Tertangkap basah
Setelah Reinier de Klerk meninggal pada 1780, rumah mewahnya itu terus berpindah-pindah tangan dan berubah-ubah fungsi hingga menjadi Gedung Arsip Nasional sejak 1961.

Sepeninggal de Klerk, istrinya Sophia mewarisi rumah berikut pekarangannya di Molenvliet itu. Namun, lima tahun kemudian, melalui surat wasiat dihibahkan kepada salah seorang cucunya Franz Reinier Radermacher. Di tangan Radermacher rumah itu hanya berumur setahun karena kemudian dibeli lewat lelang oleh Johannes Siberg – anggota Dewan Hindia yang juga menantu gubernur jenderal berikutnya, W.A. Alting – dan sempat dihuninya selama 31 tahun.

Rumah itu pernah jatuh ke tangan pemilik yang bukan petinggi VOC. Pada 1818 Juda Leo Ezekhiel Igel, seorang pedagang keturunan Yahudi Polandia, membelinya dari tangan Lambertus Zeegers-Veekens, ketua Dewan Keuangan VOC. Pemilik yang satu ini unik. Juda tidak asing dengan rumah itu karena 38 tahun sebelumnya ia adalah tentara penjaga kompleks rumah itu. Ia mendapat hukuman lima puluh pukulan gara-gara tertangkap basah ketiduran ketika sedang piket di pintu masuk pekarangan rumah itu. Juda ditertawakan oleh teman-temannya ketika ia bersumpah, suatu kali ia akan membeli rumah ini.

Berhenti jadi tentara, ia mengganti namanya menjadi Leedert Miero, lalu bekerja sebagai pandai emas. Miero yang buta huruf ini sungguh beruntung karena akhirnya ia mampu mewujudkan sumpahnya.

Rumah itu terus berpindah tangan, dan pernah dibeli oleh College van Diakenen dari Gereja Protestan untuk dijadikan rumah yatim piatu. Sekitar 50 tahun kemudian, kondisi rumah itu tidak kuat lagi lalu dijual. Hampir saja rumah itu dibongkar. Namun, berkat konservator dari Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia, pada 1900 pihak pemerintah Hidnia Belanda membelinya. Tahun 1925, setelah dipakai untuk kantor dinas pertambangan, pemerintah memutuskan untuk menjadikannya Landsarchief alias Arsip Negara.

Berbagai perbaikan dilakukan. Taman-taman di bagian depan dan belakang rumah induk dikembalikan seperti semula. Paviliun diperbaiki untuk menyesuaikan dengan fungsi barunya. Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh pemerintah Belanda pada 1949, Arsip Negara diubah menjadi Kantor Arsip Negara yang berada di bawah Departemen PP&K. Pada 1961 diubah lagi menjadi Gedung Arsip Nasional hingga sekarang.

Lapisan budaya ditemukan
Usianya yang semakin renta, hampir 2,5 abad, membuat kondisi bangunan GAN makin memprihatinkan. Selain ngengat dan rayap yang bikin keropos unsur kayu pada beberapa bagian rumah, musuh utama lainnya adalah kondisi dinding yang terus mengalami perusakan akibat air yang merembes ke atas. Kondisi ini jika didiamkan akan menghancurkan dinding-dinding dan mengakibatkan pelapukan kusen-kusen pintu maupun jendela.

Biang keladinya adalah sistem drainase yang sudah tidak memadai lagi sehingga air akan menggenang di sekitar bangunan jika terjadi hujan. Keadaan lingkungan di kiri-kanannya yang padat bangunan, di sepanjang Jl. Gajah Mada, ikut menyebabkan genangan itu.

Melihat kondisi yang demikian itu sejumlah pengusaha asal Belanda di Jakarta tergerak untuk melakukan pemugaran demi pelestariannya. Maka dibentuklah Committee National Cadeau yang bertugas menghimpun dana.

Upaya menyelamatkan kompleks bangunan yang pada 1998 ditetapkan oleh Mendikbud sebagai bangunan Cagar Budaya Nasional pun dimulai. Restorasi dan renovasi itu melibatkan perusahaan konsultan dan kontraktor utama, yakni PT Han Awal Architects & Partners, Budi Liem Architects & Partners, PT Decorient-Balast Joint Operation Project, dan PT MLD (Belanda). Dalam proyek ini juga dilibatkan ahli-ahli lain, di antaranya beberapa arkeolog dari Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Ditbinjarah), Dirjen Kebudayaan, Depdikbud RI.

Pemugaran diarahkan ke kondisi sebelum 1925, yang tidak lain adalah bangunan yang didirikan de Klerk. Sebab, ketika masih sebagai Landsarchief pada 1925, beranda pada kedua paviliun di belakang rumah induk ditutup untuk kepentingan penyimpanan arsip. “Memang tidak bisa mengembalikan apa yang dibangun de Klerk, tetapi paling tidak unsur-unsur utamanya dipertahankan,” jelas Yunus Satrio Atmojo, kepala Sub Direktorat Dokumentasi dan Publikasi, Ditbinjarah.

Bersamaan dengan itu dilakukan pula kegiatan ekskavasi (penggalian) oleh Depdikbud. “Tujuannya untuk menemukan bukti-bukti pemanfaatan situs dan benda-benda yang ditinggalkan selama lebih dari 220 tahun, termasuk menemukan maaiveld atau lapisan-lapisan budaya yang dapat diugunakan sebagai pedoman tahapan pembangunan dalam masa itu. Selain untuk kepentingan akademik, ekskavasi dimaksudkan juga untuk menyelamatkan data arkelologi serta memberikan dukungan informasi kepada pihak pelaksana pemugaran,” kata Dra. Hardini Sumono, arkeolog dari Ditbinjarah.

Salah satu yang menarik dari hasil temuan penggalian itu adalah terkuaknya sistem fondasi cerucuk yang merupakan fondasi rumah induk yang dibangun oleh de Klerk. Struktur fondasi jenis ini menunjukkan bahwa bangunan itu didirikan di atas tanah rawa, atau setidaknya tanah lembek. “Fondasi itu tersusun dari balok-balok kayu yang dipancangkan ke dalam tanah kira-kira sedalam 3 m, lalu di atasnya papan, baru kemudian susunan bata sebelum akhirnya tembok yang disangga,” tutur Hardini.

Temuan menarik lain adalah lapisan budaya berupa permukaan tanah asli zaman de Klerk. Permukaan tanah asli ini, menurut Hardini, tadinya tertimbun tanah sedalam sekitar setengah meter. Timbunan ini diduga sengaja dilakukan untuk menguruk tanah guna mengurangi terjadinya genangan sewaktu hujan. Dengan penggalian itu tersingkap pula dua anak tangga dari batu andesit yang tersembunyi menuju ke pintu depan, samping kiri dan kanan.

Seperti kulit manusia
Masalah genangan air menjadi perhatian utama dalam proyek restorasi bernuansa renovasi ini. Untuk itu langkah pertama adalah membuat sistem drainase yang memadai. “Yang pertama-tama harus dilakukan adalah mengamankan halaman rumah itu dari genangan air,” ujar Ir. Han Awal dari PT Han Awal Architects & Partners, yang ikut berperan untuk melakukan studi kelayakan dan memberi saran mengenai fungsi gedung setelah pemugaran.

Pelaksanaan pembangunan drainase ini dipercayakan kepada PT MLD dan PT Deserco DS, keduanya perusahaan dari Belanda. Tim ini merancang sistem drainase dengan membuat gorong-gorong berdiameter 1 m di sekeliling kompleks GAN. Ketika hujan turun, curah air mengalir ke dalam gorong-gorong lalu masuk ke dalam sumur penampung untuk kemudian secara otomatis dipompa keluar menuju Sungai Ciliwung dengan menembus di bawah Jl. Gajah Mada yang padat lalu lintasnya.

Menurut Hardini, penggalian untuk pipa-pipa saluran air itu sangat diawasi oleh arkeolog termasuk dirinya untuk menghindari kerusakan struktur-struktur lama yang berada di dalam tanah, seperti struktur drainase kuno berupa bak kontrol serta berbagai artefak berupa benda pakai macam botol minuman keras, piring, mangkok, sendok keramik, pipa rokok keramik, dsb.

Proses restorasi rumah induk, yang merupakan inti dari proyek ini, juga menemukan berbagai hal yang tak kurang menarik. Untuk menghambat agar air tidak meresap ke dinding, direncanakan untuk membuat jalur pengaman beton kedap air di sepanjang dinding. “Rupanya, setelah kita kupas plesterannya, di dalamnya sudah ada jalur pengaman dari beton itu. Ternyata restorator sebelumnya sudah membuatnya,” ungkap Han Awal yang pernah terlibat dalam restorasi Gereja Katedral Jakarta.

Dengan temuan itu jalur pengaman beton tidak perlu dibuat lagi. Untuk menangulangi air merembes diputuskan untuk menyuntikkan bahan kedap air modern pada lapisan beton itu. Juga, pada tembok tepat di bawah kusen jendela dilapisi lembaran timah supaya air yang lolos tidak menyentuh kusen kayu jendela.

Sementara itu plesteran dinding diganti dengan yang baru. Komposisi adukannya dibuat semirip aslinya sesuai hasil penelitian di laboratorium. Sementara cat dinding bagian luar dipilih yang memiliki kemampuan begitu rupa sehingga dinding dapat bernapas dan tahan hujan. Artinya, ketika tertimpa hujan atau lembap, air cepat menguap. “Dinding yang dibuat dengan teknologi rainproofing itu mirip kulit kita. Kalau kita berenang, air tidak masuk ke dalam tubuh. Sebaliknya, kalau keringatan, keluar airnya,” tutur Ir. Budi Liem dari Budi Liem Architects & Partners.

Unsur kayu yang lapuk diganti dengan kayu bekas pembongkaran bangunan tua di kawasan Kota agar senyawa. Mengacu pada prinsip restorasi, seluruh unsur kayu jati di bangunan itu difumigasi (pengasapan dengan gas pestisida) untuk mencegah rayap dan ngengat.

Dalam soal pengecatan unsur-unsur kayu dengan ciri khas warna merah dan prada emas seperti bagian kusen maupun daun pintu dan jendela, ukir-ukiran pada kerawang, mengikuti kesepakatan tertentu. “Tidak kita kembalikan ke zaman de Klerk yang cat dan pradanya berbinar-binar. Tetap kita pertahankan supaya tetap kelihatan tua. Ini barang tua, ya, biarkan tua,” tutur Han Awal.

Pemugaran GAN tak pelak melibatkan beberapa perajin. Untuk merestorasi ukiran-ukiran kayu, dilibatkan perajin ukir asal Jepara. Perbaikan maupun penggantian aksesori pintu dan jendela misalnya engsel, kunci berserta anak kuncinya, pegangan pintu dan jendela yang terbuat dari bahan kuningan, dipercayakan pada perajin dari Surabaya.

Pihak pelaksana pemugaran sempat menemui kesulitan ketika harus mencarikan ganti ubin-ubin keramik (10 x 10 cm) pada bagian kaki dinding di salah satu ruang di lantai dasar. Menurut literatur, sebagian keramik itu dipasang di gedung Museum Nasional. Ubin-ubin keramik itu bermotifkan cuplikan kisah yang diambil dari Alkitab. “Setelah survai sana-sini, akhirnya ketemu perajin di Cilacap yang sanggup mengerjakannya,” kata Han Awal.

Satu pekerjaan telah selesai dan bangunan bersejarah ini terselamatkan. “PR” berikutnya adalah terus mendalami berbagai temuan di seputar bangunan ini untuk melengkapi fakta-fakta sejarah terutama yang berkaitan keberadaan kompleks bangunan ini.(I Gede Agung Yudana/Heru Kustara)

Sumber: Intisari, Desember 1998